Minggu, 13 Juni 2010

PERAN ORANG TUA DALAM PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA

Oleh : Sri Astuti Handayani, S.Psi

Saat ini banyak remaja yang belum paham dan mengerti secara mendalam tentang Kesehatan Reproduksi Remaja, sehingga sering terjadi permasalahan remaja yang berkaitan dengan soal seks, seperti aborsi, penyakit menular seksual (PMS), perilaku seksual yang menyimpang bahkan tidak sedikit terjadi kehamilan yang tidak di inginkan.
Kesehatan reproduksi remaja di artikan sebagai suatu kondisi sehat yang tidak hanya berarti bebas dari penyakit dan kecacatan akan tetapi lebih dari itu, termasuk sehat secara mental dan sosial berkaitan dengan sistem, fungsi dan proses reproduksi. Orang tua sangat berperan penting dalam memberikan pendidikan kesehatan reproduksi kepada remaja. Jika orang tua tidak menjadi sumber informasi yang bersahabat bagi remaja, maka remaja akan cenderung mencari tahu lewat sumber-sumber informasi seksual yang menyesatkan seperti film-film porno, majalah, komik atau ke teman-temannya.
Menurut Reinnisch (1990) Direktur Kinsey Institute for Sex, Gender, and Reproduction, Amerika Serikat, kita di banjiri pesan-pesan seksual, tetapi tidak dengan fakta-fakta seksual. Informasi seksual berlimpah, tetapi banyak dari informasi itu salah. Remaja mendapat informasi tentang seks sebagai sesuatu yang menyenangkan, tidak berbahaya, dewasa dan terlarang. Remaja usia 13 tahun hingga 21 tahun ingin mencoba sesuatu yang baru dan mengambil resiko. Mereka melihat diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan tidak mungkin mengalami kehamilan walau melakukan hubungan pra nikah.
Permasalahanya orang tua cenderung membatasi perbincangan mengenai kesehatan reproduksi ini, menganggap sebagai hal tabu yang tidak pantas di bicarakan. Atau orang tua sendiri juga tidak siap memberikan pendidikan kesehatan reproduksi ini kepada anak-anaknya. Apakah anak anda mulai bertanya “ dari mana bayi berasal?”. Tetapi Anda sebagai orang tua tidak bisa menjawab karena malu. Bayangkan! Jika ini di dengar oleh orang tua yang berada di Kairo atau Karachi. Mendengar tentang ini mereka mungkin tercengang dan mempertanyakan keahlian Anda menjadi orang tua!.

1. Mulai Sejak Dini
Idealnya pendididkan kesehatan reproduksi tidak diberikan kepada anak-anak sebagai reaksi atas pertanyaan mereka. Sebaliknya, pendidikan kesehatan reproduksi di berikan sejak awal secara tidak langsung. Anak harus memiliki keyakinan yang kuat akan identitas dirinya serta pemahaman akan nilai-nilai yang di milikinya. Artinya ketika anak mulai sadar akan perbedaan jenis kelamin, sadar bahwa mereka perempuan atau laki-laki dengan organ reproduksi yang berbeda, mereka mulai di beri pemahaman akan identitasnya tersebut, serta nilai-nilai yang menyertai identitas ini. Sebagai contoh : “Anak tahu ia perempuan, kenalkan batas auratnya yang berbeda dengan bapak atau saudara laki-lakinya”. Jadi, ketika saatnya nanti Anak mulai “wajib” menutup aurat, ia tinggal menjalankan saja.
Orang tua harus duduk bersama dan menjelaskan nilai-nilai mereka kepada anak-anak. Hal tersebut perlu di mulai sejak anak-anak masih muda, sebelum masyarakat mempengaruhi mereka. Penting juga untuk menjelaskan kepada anak-anak, mengapa orang tua tidak memegang nilai-nilai tersebut. Sebagai contoh, mengapa orang tua tidak menyetujui hubungan seks di luar pernikahan, baik karena alasan agama dan/atau kesehatan.

2. Berikan Pendidikan Kesehatan Reproduksi Sesuai Dengan Usia Anak
Mulai mengajarkan topik yang berbeda pada usia yang tepat juga penting. Sebagai contoh, seorang anak yang berusia delapan tahun mungkin melihat bahwa ibunya tidak sholat selama beberapa hari dalam sebulan dan bertanya mengapa. Saat itulah, secara sederhana dapat kita sampaikan bahwa saat itu Allah mengijinkan kaum perempuan untuk tidak sholat. Saat anak berusia 12-13 tahun, orang tua dapat memperkenalkan topik tentang menstruasi, dan pada saat itu, barulah dia mampu melihat hubungannya. Jika ia perempuan, ajarkan juga apa saja yang harus dia lakukan ketika menstruasi di tinjau dari sisi kesehatan.
Cara lain untuk memperkenalkan topik tentang kesehatan reproduksi adalah pada saat anak mulai mengaji/membaca Al Qur’an. Ketika anak membaca ayat-ayat tentang hubungan seks, menstruasi, atau homoseksual sebagai contoh, hal tersebut dapat di jelaskan dengan sebenarnya.
Kesehatan reproduksi dapat juga di bahas dalam konteks kebersihan menurut ajaran Islam pada usia tertentu. Contohnya ketika anak berusia enam atau tujuh tahun, dia harus tahu bagaimana membersihan dirinya setelah menggunakan toilet. Kemudian ketika berusia sebelas atau dua belas tahun, masalah tentang mandi wajib bisa di angkat dan bila di perlukan (misalnya setelah berhubungan suami istri, setelah selesai menstruasi, setelah mendapat mimpi basah, dll)
Orang tua sebaiknya mendatangi anak-anaknya secara perorangan, bukan berkumpul semua dalam menjelaskan berbagai topik yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi sesuai usia anak. Beberapa topik yang bisa di bahas mencakup kerendahan hati, kesopanan, sikap dan perilaku. Tetapi hal tersebut sebaiknya tidak di sampaikan sebagai sejumlah peraturan yang harus di patuhi, melainkan kebajikan yang mendasarinya, sebagai contoh taat cara berpakaian menurut Islam dan tidak memandang lawan jenis terlalu lama, perlu di jelaskan dengan alasan/kebajikan yang mendasarinya.

3. Orangtua Sebaiknya Menciptakan Hubungan yang Baik dengan Anak
Pendidikan kesehatan reproduksi yang benar hanya dapat di berikan jika pesan yang benar di sampaikan oleh orang tua secara terbuka dan tersirat, serta menyampaikanya dengan cinta. Harus ada keterbukaan, bukan suasana kaku dan dogmatik di rumah.

4. Orang tua sebagai Contoh dan Suri Tauladan
Cara terbaik untuk menyampaikan nilai-nilai kepada anak-anak adalah dengan menjadi “role model” (contoh atau teladan). Hal tersebut berarti anak tidak hanya perlu mengetahui tentang hubungan pria perempuan yang sehat ketika mereka melihat orangtuanya, tetapi orangtua juga tidak terlibat dalam kegiatan yang merendahkan pandangan mereka terhadap seksualitas. Sebagai contoh orangtua berhati-hati memilih tontonan buat mereka sendiri, karena ini merupakan pengaruh buruk bagi anak-anak. Jika orang tuanya saja menonton film biru, tentu anak-anak akan mengikutinya.
Hal ini juga berarti memberikan contoh dalam segala aspek kehidupan dengan mematuhi peraturan yang sama yang orang tua ingin mereka patuhi. Sebagai contoh, jika orang tua terlambat, hubungi anak-anak dan beritahukan kepada mereka, tunjukan rasa hormat yang sama sebagaimana orang tua harapkan dari anak-anak.

5. Anak Bertemu dengan Orang Lain yang Memiliki Nilai-Nilai yang Sama
Anak-anak tidak hanya perlu melihat penerapan nila-nilai kebaikan di rumah. Mereka juga harus mengalaminya ketika berhubungan dengan anak-anak lain maupun keluarga yang memiliki nilai-nilai yang sama. Mereka harus melihat bahwa kehidupan berkeluarga secara Islami bukan hanya sesuatu yang dipraktekan di rumah mereka saja, tetapi juga di praktekan oleh orang lain.
Hal ini mebuat anak merasa lebih “normal”, dimana dia mungkin memiliki teman sekolah atau kenalan yang memiliki orangtua homoseksual (dua ibu atau dua ayah), orangtua yang melakukan hubungan seks di luar pernikahan (kekasih si ibu atau kekasih si ayah) atau jenis-jenis hubungan lain yang tidak dapat di terima.

6. Libatkan Diri dengan Sekolah dimana Anak belajar
Seringkali sekolah mendorong orang tua untuk aktiv berpartisipasi melalui berbagai jalur seperti Persatuan Orangtua Murid dan Guru ( POMG) atau sebagai dewan sekolah yang di tunjuk.
Tetapi jika ini terlalu banyak memerlukan komitmen sebagai orang tua, paling tidak usahakan untuk selalu berhubungan dengan guru yang mengajar anak-anak, dan beritahu guru tersebut bukan hanya masalah, tetapi juga hal-hal baik yang telah dia ajarkan kepada anak-anak. Ada sebuah program menarik yang awalnya di adopsi dari sekolah-sekolah barat, sekarang mulai di lakukan di beberapa sekolah unggulan di Indonesia, yaitu program “ a Lunchroom Program” dengan orangtua sebagai pemantau, yang hanya memakan waktu beberapa jam sekali sepekan.
Partisipasi teratur dalam organisasi maupun kegiatan sekolah seperti itu memberikan orang tua kesempatan untuk menyuarakan pandangan selaku orang tua tentang apa yang terjadi dalam sistem sekolah yang mempengaruhi anak-anak kita, serta anak-anak lainya. Dengan berpartisipasi dalam jangka waktu lama, suara orang tua akan lebih mungkin di dengar karena orang tua terlibat dalam membuat sekolah tersebut menjadi lebih baik secara umum, bukan hanya untuk kepentingan anak Anda.

7. Tahu Batas Pendidikan Kesehatan Reproduksi
Kita harus tahu kurikulum pendidikan kesehatan reproduksi pra remaja itu apa saja dengan mengaitkan dengan nilai-nilai yang sudah di ajarkan oleh sekolah selama ini.

8. Mengatahui Sudut Pandang Islam Tentang Seks
Ada banyak topik dalam pendidikan kesehatan reproduksi selain mengatakan kepada putra putri “Jangan melakukannya sampai kamu menikah”. Topik-topik seperti menstruasi, perubahan seksual pada remaja, kesucian diri menurut Islam juga perlu di bahas. Kita juga harus bisa memberikan referensi yang tepat dari Al Qur’an dan As Sunnah mengenai topik-topik yang relevan (misalnya pengaturan jarak kelahiran, hubungan anak lelaki dan anak perempuan, dll).

9. Orang tua sebagai Sumber Utama Pendidikan Kesehatan Reproduksi
Anak bisa jadi mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi dan masalah seks dari sumber lain seperti televisi, film, sekolah dan teman-teman, akan tetapi Andalah “sumber yang berwenang”. Tempatkan diri Anda dalam posisi utama ini. Hal ini akan lebih efektif di mulai ketika anak berusia sekolah dasar, di bandingkan menunggu anak berusia remaja, yang biasanya mulai memberontak dan tidak mau mendengar orang tua.
Memang sulit bagi orang tua berbicara seks pada remaja, dengan posisi sumber utama tersebut. Tetapi biarkan saja, karena ini menunjukan keseriusan dan pentingnya hal yang akan Anda katakan. Jalan terakhir jika Anda merasa sangat tidak nyaman membicarakan seks, mintalah orang lain, ahli atau anggota masyarakat untuk memberikan penjelasan atau anggota keluarga lain yang di percaya. Namun demikian meminta seseorang untuk berbicara kepada remaja atau memberikan buku bukanlah akhir cerita. Sebagai orang tua, kita harus siap dan terbuka terhadap pertanyaan remaja tentang seks, sehingga orangtua bisa mengarahkan remaja kepada orang atau informasi yang tepat jika orangtua merasa tidak nyaman untuk menjawabnya.
Untuk mengatasi persoalan kesehatan reproduksi remaja, pemerintah melalui BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) menyediakan akses informasi yang luas, baik kepada remaja maupun kepada orang tua melalui Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-KRR). Pada PIK-KRR ini, remaja maupun orangtua dapat memperoleh informasi yang berkaitan dengan TRIAD KRR yaitu seksualitas, Narkoba, HIV dan AIDS. PIK KRR tersebar di beberapa sekolah, pondok pesantren di wilayah Nusa Tenggara Barat. BKKBN mengajak berbagai komponen masyarakat ikut mensosialisasikan dan mengoptimalkan keberadaan PIK KRR di lingkungannya.

5 komentar:

  1. kalau anak di suruh nikah gmn tu sm ortu ?????????
    ap mmpengaruhi rewproduksi dy.......

    BalasHapus
  2. ya bner peran ortu emg sgt brpengaruh thdap pkmbgn ank....

    BalasHapus
  3. kl ortu ngajarinya bner ya psti anaknya jg kut bner

    BalasHapus
  4. syg ortu aq cuek dlm prkmbgn aq....
    so aq ga tw ttg hal bgtun,,,,maap yach

    BalasHapus
  5. boleh tau pustakanya ini dr man aja ga?
    aq perlu buat skripsi

    BalasHapus